Sejarah Gereja di Jepang
Di Jepang
Franciscus harus memberitakan Injil dengan memperhatikan latar belakang
pendidikan dan kebudyaan setempat. Franciscus menyadari bahwa untuk
memberitakan Injil secara efektif di Jepang harus melalui tingkat kedudukan
social yang tinggi yaitu melalui daimyo atau daimyo dianggapnya sebagai
strategis untuk mempengaruhi orang-orang yang ada di Jepang. Ia berpakian yang
pantas diperhitungkan oleh kelompok daimyo yaitu memakai Sutra ketika ia
mengunjungi daimyo yang terbesar, yaitu Ouchi Yoshika dari Yamaguchi; Xaverius
membawa kenang-kenangan yang indah dan menarik, termasuk didalamnya sebuah jam
besar dan kotak perhiasan yang dapat bermain musik. Xaverius diberi Izin untuk
berkhotbah, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sampai malam,
pertanyaan-pertanyaan itu menyangkut astronomi, geografi dan keKristenan. Hasil
dari kegiatan pelayanan itu, dalam dua bulan
lima raus orang yang minta dibaptis di Yamaguchi.(Ibid, hlm. 101)
Setelah
melayani beberapa tahun di Jepang (1549-1552), ia kembali ke Goa pada tahun
1552. Dari Goa, Franciscus ke Tiongkok, ia mendengar bahwa pengaruh kebudayaan
Cina sangat kuat di Jepang. Sehingga bila orang-orang Cina telah dimenangkan
maka Bangsa Jepang gampang dimenangkan bagi Kristus. Dalam perjalanan ke Cina,
ia meninggal sebelum sampai di Cina. Dan dikuburkan dekat Macao.(Ibid)
Pada
tahun-tahun selanjutnya Kristen Katolik sangat berkembang pesat di Jepang,
misalnya pada tahun 1580 terdapat 150.000 orang Kristen Katolik, dengan jumlah
bangunan Gereja 200 Gedung, 85 imam Yesuit berkebangsaan Portugis, 28 bruder
awam atau yang belum ditahbiskan menjadi imam berbangsa Jepang. Orang-orang ini
adalah hasil pendekatan pelayanan terhadap kelompok daimyo. Omwa Sumitada,
adalah daimyo pertama yang percaya kepada Yesus Kristus, dibaptis tahun 1563.
Delapan tahun kemudian (tahun 1571) ada 5.000 orang di wilayah kekuasaan
Sumitada dibaptis, kemudian tahun 1577 orang Kristen bertambah menjadi 60.000.
Pada
tahun 1573 seorang daimyo yaitu Arima Yoshisada di baptis, akibatnya jumlah
orang Kristen di wilayah daimyo ini bertambah dari 3.000 menjadi 15.000.
Pengganti daimyo selanjutnya yaitu Horunobu menganiaya Gereja, sehingga 7.000
orang Kristen menyangkal imannya, tetapi di kemudian hari sang penganiaya
(Horunobu) bertobat menjadi Kristen dan dibaptis tahun 1580, kemudian orang
Kristen yang pernah menyangkal imannya kembali lagi ke Gereja, ditambah empat
ribu orang dari kelompok Samurai atau kelompok kesatria yang menjadi pelayan
Horonobu ikut menjadi Kristen.
Pada
tahun 1587 Hideyoshi mengeluarkan edik yang isinya melarang agama Kristen. Edik
ini dilaksanakan tahun 1597, dengan menyalibkan 26 orang Kristen: enam orang
Spanyol dan dua puluh orang Jepang, beberapa gedung Gereja dihancurkan, para
missionaries disuruh meninggalkan Jepang, namun
banyak yang bersembunyi di desa.
Hiedeyoshi
meninggal tahun 1598 dan diganti oleh Ieyasu, yang menjadi Shogun (wakil
Kaisar) pada tahun 1603. Ia melarang pembaptisan para daimyo, karena mereka
menjadi sebab masyarakatnya menjadi Kristen. Pembatasan-pembatasan ini tidak
membuat Gereja mati tetapi justru terus mengalami perkembangan di Jepang.
Dikatakan selama sepuluh tahun pertama abad tujuh belas, setiap tahun kurang
lebih lima ribu orang Jepang dibaptis.
Penghambatan
semakin meningkat, pada tahun 1604 dikeluarkan edik yang menuduh orang Kristen
merubah pemerintahan serta merebut kekuasaan negara. Akibatnya semua pekabar
Injil diusir keluar dari Jepang, gedung-gedung gereja dimusnakan, tokoh-tokoh
Kristen Jepang yang berpengaruh di buang ke Cina, Pilipina, atau
propinsi-propinsi utara. Orang Kristen Jepang diwajibkan mendaftar di kuil
Budha terdekat dengan rumahnya, supaya imam Budha dapat mengawasi ibadah
mereka.
Setelah
kematian Ieyasu pada tahun 1616 gereja mengalami hambatan yang lebih dasyat.
Orang Kristen Jepang disuruh menyangkal imannya. Pada tahun 1619, 55 orang
Kristen Jepang termasuk anak-anak dibakar hidup0-hidup di Kyoto. Tahun 1614 dan
1643 hampir 5.000 orang Kristen mati syahid, termasuk 70 orang Eropa. Tuijuh
Puluh orang Kristen di pantei Yado disalibkan dalam posisi terbalik, dengan
harapan ketika terjadi air pasang mereka mati tenggelam.
Akibat
dari siksaan ini maka orang-orang Kristen Katolik/para klerus menjadi hilang di
Jepang untuk beberapa waktu, namun Gereja Katolik di bawah tanah bertahan
selama beberapa abad. (Anne Ruck, 2000 : 102-106)